Minggu, 28 November 2010

ANAK AUTIS

PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Masalah anak autis mulai merebah di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini, walaupun sebetulnya permasalahan tersebut sudah ada sebelumnya. Peningkatan masalah autis yang sangat pesat terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Bila tahun 1990-an jumlah anak autis adalah 15 sampai 20 per 10.000 anak (Baron Cohen, 1993), maka diperkirakan sekarang ada 1 per 150 anak di Amerika Serikat.
Melalui penyebaran informasi, peningkatan pendidikan dan pengetahuan para tenaga ahli dan tenaga pendidik, diharapkan penanganan anak autis lebih terarah dan terpadu. Pada kenyataannya waktu adalah berharga, karena makin dini anak ditangani makin besar kemungkinan perubahan perilaku kearah normal. Anak autis perlu mendapatkan terapi terpadu, yang dipersiapkan secara baik dan terevaluasi agar kelak anak autis tidak terisolasi dari manusia lain dan tidak masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
Oleh karena itu, untuk mengetahui seperti apakah anak autis itu, maka penulis merasa perlu membuat makalah mengenai anak autis dan penanganannya.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
Apa pengertian autis
Apa saja gejala-gejala autis.
Apa factor penyebab autis
Bagaimana cara menangani anak autis

Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh :
Pengertian autis
Gejala-gejala autis
Factor penyebab autis
Cara penanganan anak autis

Sistematika laporan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah :
BAB I : meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan
BAB II : Kajian Teoretik Pembahasan meliputi pengertian autis, gejala autis, factor penyebab autis dan cara penanganan anak autis.
BAB III : Kesimpulan
BAB IV : Daftar Pustaka


KAJIAN TEORETIK
Pengertian Autis
Menurut Baron dan Cohen (1993) autisme adalah suatu kondisi mengenai seorang anak sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan social atau komunikasi normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
Selain itu autisme dapat diartikan sebagai gangguan perkembangan yang luas dan berat yang gejalanya mulai tampak pada anak sebelum ia mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan ini mencakup bidang komunikasi, interaksi dan perilaku.
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
interaksi sosial,
komunikasi (bahasa dan bicara),
perilaku-emosi,
pola bermain,
gangguan sensorik dan motorik
perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Gejala-gejala Autis
Gejala autis infantile timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya kontak mata. Bayi tersebut secara aktif menghindar kontak mata, dengan ibunya sekalipun.
Ia pun tidak memberikan respon bila dipanggil namanya atau diajak bergurau oleh ibunya. Namun ia bias sangat senang dan tertawa terkekeh-kekeh bila melihat mainan yang berputar yang digantung diatas tempat tidurnya.
Tidak memiliki rasa tertarik kepada anak-anak lain. Tidak pernah menggunakan telunjuk untuk menunjuk rasa tertariknya pada sesuatu. Tidak pernah menatap mata lebih dari 1-2 detik. Dia tak pernah meniru Anda yang sedang membuat raut wajah tertentu. Tidak memberikan reaksi bila namanya dipanggil.
Bila anda menunjuk pada sebuah mainan disisi lain ruangan, dia tidak pernah melihat pada mainan tersebut. Tidak pernah bermain sandiwara boneka, entah itu pura-pura menyuapi boneka atau bicara ditelepon.
Factor penyebab Autis
Salah satu penelitian terbaru mengenai autisme menemukan para penderita autis memiliki gen umum dengan variasi yang berbeda. Temuan gen tersebut nantinya bisa memudahkan diagnosis dan mengembangkan terapi serta pencegahan terjadinya autisme pada anak.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Journal Nature ini membandingkan gen dari ribuan penderita autisme dengan ribuan orang normal. Hasil dari penelitian menunjukkan, sebagian besar penderita autisme memiliki variasi genetik dari DNA mereka yang berpengaruh pada hubungan antarsel otak.
Para peneliti juga mengungkapkan adanya hubungan antarautisme dengan ‘kesalahan kecil’ pada segmen DNA yang terdapat sel komunikasi di dalamnya.
Temuan ini bisa membuka kesempatan untuk mencari tahu bagaimana mengatasi masalah pada fungsi dan perkembangan sel otak yang dialami penderita autis, kata Hakon Hakonarson, kepala Center for Applied Genomics at Children's Hospital di Philadelphia, Amerika Serikat.
Meskipun temuan tentang hubungan penyebab autis dengan DNA bukan untuk pertama kalinya, sampai saat ini belum ditemukan cara mencegahnya.
Pada penelitian sebelumnya menemukan 65% penderita autis memiliki variasi gen yaitu cadherin 10 dan cadherin 9. Gen tersebut mengontrol molekul adhesi yang ada di otak dan peneliti memperkirakan hal itulah yang menyebabkan autisme.
Lalu, studi lainnya menemukan hubungan antara autisme dengan materi gen yang mengandung ubiquitin. Ubiquitin adalah protein yang terikat dengan molekul adhesi dan berhubungan juga dengan sel otak.
Selain itu, Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.
Penanganan Anak Autis
Penanganan anak autis masih banyak yang salah kaprah. Metode yang dipakai sering disamakan untuk tiap anak. Padahal, seharusnya tidak demikian. Masing-masing anak membutuhkan penanganan yang berbeda, menurut anggota Centre for Biomedical Research (Cebior) FK Undip dokter Tri Indah Winarni, masing-masing anak autis memiliki karakter berbeda. Dengan begitu, metode yang berhasil diterapkan pada anak yang satu bisa jadi tak akan berhasil ketika diterapkan pada yang lain. Sifat dari penanganan yang diberikan benar-benar harus individual oleh karena spektrumnya yang sangat luas, Yang tak kalah memprihatinkan, penanganan anak autis disamakan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). ADHD merupakan gangguan pemusatan perhatian yang mempunyai prognosis yang lauh lebih baik. Penandanya antara lain inatensi, impulsivitas, hiperaktivitas, dan gangguan pola perilaku terstruktur pada dua macam situasi berbeda. Gangguan ini berlaku kronis selama masa perkembangan. Autis merupakan gangguan yang bisa di terapi tetapi tidak bisa sembuh sempurna, sedangkan ADHD biasa.
selain bersifat individual, penanganan anak autis harus mengedepankan kepeduliaan. Ini terutama berlaku pada orang tua. Mereka harus turut memberikan penanganan. Jangan sepenuhnya diserahkan para terapis atau sekolah saja, Orang tua juga harus konsisten dalam memberikan larangan, terutama yang terkait dengan asupan makanan.
Perlu diketahui, tidak bisa menghasilkan enzim tertentu yang membuat penyerapan makanan menjadi tak sempurna. Beberapa bahan yang diserap justru akan menjadi opium yang akan meracuni otak. Akibatnya, akan memicu emosional mereka. Bahan makanan itu misalnya susu dan tepung terigu. Dalam hal inilah orang tua sering tidak konsisten. Mereka acap tak tahan dengan rengekan anak. Akhirnya, apa yang diminta dituruti. Akibatnya, emosi anak tak terkendali dan mengalami obesitas.
Beberapa jenis terapi yang dapat diberikan dalam penanganan anak autis adalah :
Terapi perilaku
Berbagai jenis terapi perilaku telah dikembnagkan untuk mendidik anak-anak dengan berkebutuhan khusus, termasuk penyandang autis. Mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para anak-anak ini untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja gurunya yang harus menerapkan terapi perilaku ini, namun setiap anggotakeluarga
rumah harus bersikap sama dan konsisten.
Terapi okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku terutama autis, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes dibanding anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan dan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya.
Terapi wicara
Bagi anak dengan speech delay, maka terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya dilaksanakan dengan metode ABA.
Terapi Biodemik (obat, vitamin, mineral, food supplement)
Obat-obatan juga dipakai terutama untuk penyandang autis. Tetapi ini sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter
Integrasi Sensoris
Anak-anak yang mengalami gangguan dalam pengindraaannya akan menarik manfaat dari terapi jenis ini, namun terapi ini tidak diperluka pada anak yang tidak atau sangat minim mengalami gangguan sensorinya. Prognosis penyandang autis sangat tergantung dari berat ringannya gejala, kecerdasan anak, namun pada saat mulai diterapi kemapuan bicara dan terutama intensitas terapi. Keterlibatan orang tua sangat membantu bagi kemajuan anak.


KESIMPULAN

Autis adalah suatu kondisi mengenai seorang anak sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan social atau komunikasi normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi.
Gejala autis adalah : Tidak memiliki rasa tertarik kepada anak-anak lain. Tidak pernah menggunakan telunjuk untuk menunjuk rasa tertariknya pada sesuatu. Tidak pernah menatap mata lebih dari 1-2 detik. Dia tak pernah meniru Anda yang sedang membuat raut wajah tertentu. Tidak memberikan reaksi bila namanya dipanggil.
Bila anda menunjuk pada sebuah mainan disisi lain ruangan, dia tidak pernah melihat pada mainan tersebut. Tidak pernah bermain sandiwara boneka, entah itu pura-pura menyuapi boneka atau bicara ditelepon.
Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.
Beberapa jenis terapi bagi penyandang autis antara lain, terapi perilaku, terapi okupasi, terapi wicara, terapi biodemik, dan terapi Integrasi sensoris.